KETIKA CINTA PERLU BUKTI NYATA PERBAIKILAH DIRIMU KARWNABINGIN MENDAPAT KAN,CINTA ALLAH BUKAN UNTUK MENDAPATKAN CINTA HAMBA ALLAH
```Bismillaah
KETIKA CINTA PERLU BUKTI NYATA
PERBAIKILAH DIRIMU KARWNABINGIN MENDAPAT KAN,CINTA ALLAH BUKAN UNTUK MENDAPATKAN CINTA HAMBA ALLAH
❤❤❤❤❤❤❤❤❤
Duhai Saudariku, sebaik-baik kesempatan yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia adalah ketika ia dapat berkumpul di taman-taman surga dunia, dan sebaik-baik pembicaraan adalah ketika kita berbicara tentang cinta.
Kalaulah bukan karena cinta, kita tidak akan bisa menikmati dunia ini.
Karena cintalah, Allah Ta’ala menciptakan langit dan bumi serta menganugerahkan seluruh rahmat dan kasih sayang-Nya.
Dan karena cinta, kita terlahir dan hidup di dunia ini serta akan dibangkitkan dan dikumpulkan di Yaumul Mahsyar, kelak kemudian dimasukkan ke surga atau neraka.
Duhai saudariku… Di dunia ini, setiap orang bisa mengatakan dan mengaku cinta.
Ketika Anda mengaku cinta pada orang tua Anda, pastilah orang tua Anda pun menginginkan buktinya. Juga terhadap pasangan halal Anda, ia pun pasti membutuhkan bukti.
Jika sebuah cinta hanyalah sebuah ucapan tanpa bukti, maka ketahuilah bahwa itu merupakan sebuah kepalsuan dan kebohongan, sekalipun Anda mengatakan “Saya mencintainya. Saya rela mengarungi lautan, mendaki gunung, menuruni lembah demi cinta saya kepadanya.” Betulkah demikian?
Apakah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya seperti itu juga, serta maukah kita mewujudkannya? Jika jawabannya ‘iya’, maka tunggu dulu… karena cinta butuh diuji.
Hasan Al-Bashri –rahimahullฤh– berkata: “Banyak manusia yang mengaku cinta maka Allah pun menguji mereka.”
Ibnu Katsir –rahimahullฤh– pun menjelaskan hal tersebut ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala :
ُْูู ุฅِْู ُْููุชُู ْ ุชُุญِุจَُّูู ุงََّููู َูุงุชَّุจِุนُِููู ُูุญْุจِุจُْูู ُ ุงَُّููู ََููุบِْูุฑْ َُููู ْ ุฐُُููุจَُูู ْ ۗ َูุงَُّููู ุบَُููุฑٌ ุฑَุญِูู ٌ
“Katakanlah (wahai Muhammad) : Jika kalian (betul-betul) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni (dosa-dosa) kalian, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran: 31).
Duhai saudariku… Cinta membuat kita tunduk dan patuh, mengikuti segala kemauan orang yang dicintai. Sebagian orang -yang cintanya ternoda, berlumuran dosa- rela melakukan apa saja demi cintanya kepada makhluk, padahal itu bisa menjerumuskannya kepada maksiat bahkan ke dalam lembah kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman :
َูู َِู ุงَّููุงุณِ ู َْู َูุชَّุฎِุฐُ ู ِْู ุฏُِูู ุงَِّููู ุฃَْูุฏَุงุฏًุง ُูุญِุจَُُّูููู ْ َูุญُุจِّ ุงَِّููู َูุงَّูุฐَِูู ุขู َُููุง ุฃَุดَุฏُّ ุญُุจًّุง َِِّููู
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah : 165).
Ayat di atas menunjukkan, kita dilarang mencintai selain Allah sebanding dengan cinta kita kepada Allah.
Begitu pun kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh cinta kita terhadap orang tua atau diri kita sendiri setara dengan cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Duhai Saudariku, contoh tentang cinta banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, pada suatu malam (sekitar jam 2 atau 3) –ketika Anda sedang enak-enaknya tidur– anak Anda menjerit. Anak itu kesakitan dan entah apa yang menimpanya. Lalu tanpa pikir panjang, Anda pun bergegas membawanya ke rumah sakit tanpa memikirkan kondisi Anda saat itu. Setelah dibawa ke rumah sakit dan anak Anda sudah mulai tenang, Anda pun pulang sekitar jam 4 dan istirahat. Lalu terdengarlah suara Azan. Tetapi apa yang Anda lakukan? Anda merasa lelah hingga menunda-nunda shalat. Nanti aah, capek. Anak saya baru dari rumah sakit. Bisa jadi ucapan tersebutlah yang terlontar.
Duhai saudariku, itulah barometer cinta. Lihatlah kadar cinta kita, apakah cinta kita kepada Allah Ta’ala lebih besar dibandingkan kepada makhluk-Nya atau sebaliknya?
Tentunya, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah cinta pertama yang wajib kita tanamkan, mengalahkan segala cinta bahkan cinta terhadap diri kita sendiri.
Wallฤhu a’lam```
KETIKA CINTA PERLU BUKTI NYATA
PERBAIKILAH DIRIMU KARWNABINGIN MENDAPAT KAN,CINTA ALLAH BUKAN UNTUK MENDAPATKAN CINTA HAMBA ALLAH
❤❤❤❤❤❤❤❤❤
Duhai Saudariku, sebaik-baik kesempatan yang Allah Ta’ala berikan kepada manusia adalah ketika ia dapat berkumpul di taman-taman surga dunia, dan sebaik-baik pembicaraan adalah ketika kita berbicara tentang cinta.
Kalaulah bukan karena cinta, kita tidak akan bisa menikmati dunia ini.
Karena cintalah, Allah Ta’ala menciptakan langit dan bumi serta menganugerahkan seluruh rahmat dan kasih sayang-Nya.
Dan karena cinta, kita terlahir dan hidup di dunia ini serta akan dibangkitkan dan dikumpulkan di Yaumul Mahsyar, kelak kemudian dimasukkan ke surga atau neraka.
Duhai saudariku… Di dunia ini, setiap orang bisa mengatakan dan mengaku cinta.
Ketika Anda mengaku cinta pada orang tua Anda, pastilah orang tua Anda pun menginginkan buktinya. Juga terhadap pasangan halal Anda, ia pun pasti membutuhkan bukti.
Jika sebuah cinta hanyalah sebuah ucapan tanpa bukti, maka ketahuilah bahwa itu merupakan sebuah kepalsuan dan kebohongan, sekalipun Anda mengatakan “Saya mencintainya. Saya rela mengarungi lautan, mendaki gunung, menuruni lembah demi cinta saya kepadanya.” Betulkah demikian?
Apakah cinta kepada Allah dan Rasul-Nya seperti itu juga, serta maukah kita mewujudkannya? Jika jawabannya ‘iya’, maka tunggu dulu… karena cinta butuh diuji.
Hasan Al-Bashri –rahimahullฤh– berkata: “Banyak manusia yang mengaku cinta maka Allah pun menguji mereka.”
Ibnu Katsir –rahimahullฤh– pun menjelaskan hal tersebut ketika menafsirkan firman Allah Ta’ala :
ُْูู ุฅِْู ُْููุชُู ْ ุชُุญِุจَُّูู ุงََّููู َูุงุชَّุจِุนُِููู ُูุญْุจِุจُْูู ُ ุงَُّููู ََููุบِْูุฑْ َُููู ْ ุฐُُููุจَُูู ْ ۗ َูุงَُّููู ุบَُููุฑٌ ุฑَุญِูู ٌ
“Katakanlah (wahai Muhammad) : Jika kalian (betul-betul) mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kalian dan mengampuni (dosa-dosa) kalian, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Ali ‘Imran: 31).
Duhai saudariku… Cinta membuat kita tunduk dan patuh, mengikuti segala kemauan orang yang dicintai. Sebagian orang -yang cintanya ternoda, berlumuran dosa- rela melakukan apa saja demi cintanya kepada makhluk, padahal itu bisa menjerumuskannya kepada maksiat bahkan ke dalam lembah kesyirikan. Allah Ta’ala berfirman :
َูู َِู ุงَّููุงุณِ ู َْู َูุชَّุฎِุฐُ ู ِْู ุฏُِูู ุงَِّููู ุฃَْูุฏَุงุฏًุง ُูุญِุจَُُّูููู ْ َูุญُุจِّ ุงَِّููู َูุงَّูุฐَِูู ุขู َُููุง ุฃَุดَุฏُّ ุญُุจًّุง َِِّููู
“Dan di antara manusia ada orang-orang yang menyembah tandingan-tandingan selain Allah, mereka mencintainya sebagaimana mereka mencintai Allah. Adapun orang-orang yang beriman amat sangat cintanya kepada Allah.” (QS. Al-Baqarah : 165).
Ayat di atas menunjukkan, kita dilarang mencintai selain Allah sebanding dengan cinta kita kepada Allah.
Begitu pun kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, tidak boleh cinta kita terhadap orang tua atau diri kita sendiri setara dengan cinta kepada Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam.
Duhai Saudariku, contoh tentang cinta banyak kita temukan dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, pada suatu malam (sekitar jam 2 atau 3) –ketika Anda sedang enak-enaknya tidur– anak Anda menjerit. Anak itu kesakitan dan entah apa yang menimpanya. Lalu tanpa pikir panjang, Anda pun bergegas membawanya ke rumah sakit tanpa memikirkan kondisi Anda saat itu. Setelah dibawa ke rumah sakit dan anak Anda sudah mulai tenang, Anda pun pulang sekitar jam 4 dan istirahat. Lalu terdengarlah suara Azan. Tetapi apa yang Anda lakukan? Anda merasa lelah hingga menunda-nunda shalat. Nanti aah, capek. Anak saya baru dari rumah sakit. Bisa jadi ucapan tersebutlah yang terlontar.
Duhai saudariku, itulah barometer cinta. Lihatlah kadar cinta kita, apakah cinta kita kepada Allah Ta’ala lebih besar dibandingkan kepada makhluk-Nya atau sebaliknya?
Tentunya, cinta kepada Allah dan Rasul-Nya adalah cinta pertama yang wajib kita tanamkan, mengalahkan segala cinta bahkan cinta terhadap diri kita sendiri.
Wallฤhu a’lam```
Komentar
Posting Komentar